Berau yang Terlalu Patuh: Ketika Kepatuhan Jadi Alasan untuk Tidak Bergerak

Berau – Di saat banyak daerah merayakan hari jadinya dengan semangat dan kebanggaan, Kabupaten Berau justru tampak lesu di hari kelahirannya sendiri. Tak ada warna, tak ada gegap gempita, bahkan tak ada tanda bahwa ini adalah momen bersejarah bagi Bumi Batiwakkal. Semua berjalan tenang, tertib, dan nyaris tanpa jiwa — seolah pemerintahnya lupa bahwa perayaan bukan hanya soal anggaran, tapi soal rasa memiliki terhadap daerah sendiri.

Pemerintah Kabupaten Berau berdalih, kesederhanaan ini adalah bentuk kepatuhan terhadap imbauan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) agar daerah berhemat dan tidak berlebihan dalam seremonial.
Alasan yang terdengar bijak, tapi terasa hambar — karena di balik kata “patuh”, tersimpan kesan enggan bergerak dan takut berinisiatif.

Daerah Lain Tunduk, Tapi Tetap Bergerak

Sementara Berau tenggelam dalam kesunyian, Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Bontang, Malinau, Tarakan, dan Bulungan justru menyalakan semangat warganya dengan cara kreatif.
Tanpa melanggar aturan, mereka menggelar kegiatan yang menyentuh masyarakat — menampilkan budaya, menggairahkan UMKM, hingga memperkuat rasa bangga warga terhadap daerahnya.

Mereka paham, hemat bukan berarti pasif. Tertib bukan berarti mati gaya.
Tapi di Berau, prinsip efisiensi seolah ditafsirkan sebagai alasan untuk tidak melakukan apa-apa.


Berau: Ketika “Aman” Jadi Zona Nyaman

Tak dapat disangkal, Pemerintah Berau memang patuh. Namun, kepatuhan yang terlalu kaku terkadang justru menelanjangi kurangnya keberanian dalam memimpin. Bumi Batiwakkal yang dulu dikenal progresif dan penuh semangat kini tampak kehilangan arah — menunggu perintah dari pusat bahkan untuk sekadar merayakan hari jadinya sendiri.

“Kalau daerah lain bisa tetap kreatif tanpa menyalahi aturan, kenapa Berau tidak?” celetuk seorang warga Tanjung Redeb dengan nada getir.

Pertanyaan sederhana, tapi menampar.


Makna yang Terlewat

Hari jadi seharusnya menjadi momentum refleksi — saat pemerintah hadir bukan hanya dalam upacara, tapi dalam hati rakyatnya. Namun kali ini, makna itu hilang di balik meja-meja rapat dan surat edaran.
Yang tersisa hanyalah formalitas: pembacaan doa, laporan protokoler, dan janji pembangunan yang terdengar berulang setiap tahun.

Berau memang hemat anggaran, tapi kehilangan yang jauh lebih mahal — semangat kebersamaan rakyatnya sendiri.


Diam Bukan Selalu Bijak

Di tengah semangat pembangunan nasional dan geliat daerah tetangga, pilihan Berau untuk “berdiam diri” justru terasa kontras. Seolah lebih takut salah langkah ketimbang berbuat sesuatu yang berarti.

Kepatuhan tentu penting, tapi pemimpin sejati tahu kapan harus menafsirkan aturan dengan hati — bukan sekadar dengan tanda tangan. Dan tahun ini, ketika daerah lain bersinar dengan kreativitas dan kedekatan dengan warganya, Berau justru tampak padam dalam kepatuhan yang membisu.


Mungkin benar Berau tahun ini patuh. Tapi di mata rakyatnya, kepatuhan tanpa semangat hanyalah perayaan yang kehilangan jiwa.(DM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!