Sumber berita Kompas.com
Jakarta, 30 September 2025 — Ombudsman Republik Indonesia menyoroti berbagai persoalan mendasar dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Menurut anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, terdapat delapan masalah utama yang jika tidak segera diperbaiki berpotensi menurunkan kepercayaan publik dan bahkan memicu kekecewaan masyarakat.
Salah satu kendala terbesar adalah kesenjangan lebar antara target dan realisasi capaian program. Ombudsman menemukan bahwa pencapaian di lapangan masih jauh dari angka yang direncanakan. Kondisi ini diperburuk dengan maraknya kasus keracunan massal di sejumlah daerah, yang menimbulkan pertanyaan serius tentang keamanan pangan yang disediakan bagi masyarakat.
Selain itu, mekanisme penetapan mitra yayasan dan Satuan Pelaksana Program Gizi (SPPG) dinilai belum transparan dan rawan konflik kepentingan. Permasalahan juga muncul dari sisi sumber daya manusia, di mana keterlambatan pembayaran honorarium serta beban kerja berlebih bagi guru dan relawan menjadi sorotan. Mutu bahan baku makanan pun sering kali tidak sesuai standar karena belum adanya ketentuan tegas mengenai Acceptance Quality Limit (AQL).
Ombudsman juga mencatat penerapan standar pengolahan makanan, khususnya Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP), belum konsisten di seluruh wilayah. Distribusi makanan pun masih bermasalah karena tidak tertib dan kerap membebani guru di sekolah. Lebih jauh lagi, sistem pengawasan program MBG dinilai masih lemah, cenderung reaktif, belum terintegrasi, dan belum sepenuhnya berbasis data.
Menurut Yeka, delapan persoalan tersebut menimbulkan risiko serius bagi keberlangsungan program. “Langkah perbaikan yang cepat, terukur, dan transparan sangat dibutuhkan agar tujuan utama MBG sebagai wujud kehadiran negara dalam melindungi dan menyejahterakan rakyat tetap terjaga,” ujarnya di Kantor Ombudsman, Jakarta.
Sebagai langkah koreksi, Ombudsman mendorong pemerintah melalui Badan Gizi Nasional (BGN) untuk melakukan pembenahan mendasar. Perbaikan tersebut mencakup penyempurnaan regulasi kemitraan dengan menegakkan prinsip kepastian waktu, keterbukaan, dan akuntabilitas. Selain itu, penguatan sumber daya manusia dan sistem administrasi juga dianggap krusial untuk menjamin keberlanjutan program.
Ombudsman turut mengusulkan keterlibatan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam pengawasan keamanan pangan, distribusi, serta penggunaan anggaran. Lembaga ini juga menekankan pentingnya jaminan perlindungan dan kompensasi bagi guru serta relawan yang terlibat langsung dalam distribusi makanan. Pada akhirnya, keberhasilan MBG akan diukur dari tata kelola yang baik, penggunaan anggaran yang akuntabel, serta penerapan sertifikasi pangan menuju target “zero accident” di setiap SPPG.